Untuknya Dariku

Dibanjiri kenangan pada indah matamu, Pada pecah senyummu, Pada belaian pucat resahmu, Langitpun membiru kosong, Dihangati uap api kerinduan ini, akupun ingin menyambangimu, Membawa sepi yang pernah kau tinggalkan, Bagaimana ku lukiskan maaf, Bila kanvas hati enggan kau buka, Bagaimana aku mendekati rindu, Bila sedetik kutemui kau berubah arah, Diingatkan petang,akupun beranjak pergi, Membawa lagi sepi ini pulang.

Rabu, 14 April 2010

Satu Kisah Lagi yang akan Menggugah Jiwa Anda

Nggak Ngakuin Bapak

2 tahun kulewati hari-hari dengan penuh kesendirian. Kulewati hari-hari dengan penuh kesedihan. Tanpa seorang ibu. Hilang sudah kasih sayang yang diberikan ibu. Tak pernah lagi aku berjumpa dengannya. Melihat senyum cantiknya. Hanya ada diriku di rumah kecil dekat sawah ini, beserta bapakku yang cacat.
Semenjak ditinggal ibu, bapak harus bekerja keras mencari uang. Dari pekerjaan yang mudah hingga yang berat beliau cari. Dan bapak mendapatkan pekerjaan di salah satu tempat yang berbahaya. Tegangan listrik. Bapak mengurusi tegangan listrik di kota desa sebelah. Berangkat pagi, pulang larut malam. Hanya pada hari Minggu, aku bisa membantu bapak bekerja. Setiap pulang kerja, aku langsung memanjakan bapak yang kecapean. Tapi itu dulu. Enggak, untuk sekarang.
Kegiatan itu kulakukan saat dulu. Setelah kecelakaan yang
menimpa bapak, aku menjauh dari bapak. Tak pernah aku memperhatikan bapak sekalipun.
Kecelakaan itu terjadi tepat bulan ke-6 setelah ibu meninggal. Bapak menjaga perusahaan tersebut pada malam itu. Beliau sendirian. Tiba-tiba salah satu alat pengatur tegangan listrik konslet. Bapak memperbaikinya sendirian. Tapi tiba-tiba alat pengatur itu meledak, tak bisa dikendalikan. Perusahaan itu terbakar. Hanya bapak sendirian di dalam. Setelah beberapa menit, pemadam kebakaran beserta warga barulah datang.
Aku sempat panik pada saat itu. Aku takut kehilangan bapakku. Dan pada saat itu, penolong menggotong seseorang yang tubuhnya gosong. Ia pingsan tak berdaya. Aku menghampirinya. Dan kulihat, bapak…
Aku tak menghampiri bapak setelah beliau siuman. Memang, bapak telah selamat. Tapi aku tetap sedih. Tubuh bapak nampak hitam. Banyak lepuhan-lepuhan bekas luka bakar di tubuhnya. Telinga kanannya agak hancur, tak sempurna. Bibirnya melepuh dan membesar. Wajahnya banyak luka bekas bakar. Dagu bapak agak menempel dengan lehernya. Dan yang menyedihkan bapak harus kehilangan tangan kirinya.
Aku tak merasa kasihan pada bapak. Aku tak mempedulikan bapak sejak itu. Aku malah membenci bapak sejak kejadian itu. Sama sekali, aku tak pernah berbicara padanya. Kalaupun beliau berbicara padaku, aku tak menjawabnya. Aku meninggalkannya begitu saja. Begitulah setiap hari yang kulakukan setelah bapak keluar dari rumah sakit.
Bapak masih tetap bekerja. Beliau bekerja sebagai pembersih kaca di gedung tingkat. Berangkat pagi, pulang sore. Malam harinya, beliau kerja sampingan di salah satu rumah makan dekat sini. Walaupun beliau sudah pulang, aku tak mempedulikan dirinya.
Aku memang tak merasa kasihan pada bapak. Tapi tiap kali, aku sering menangis. Karena kisah hidupku yang sengsara. Yang hanya memiliki orangtua satu. Dan itupun beliau cacat.
# # #
Kehidupanku tak sempurna. Gara-gara kecelakaan yang menimpaku 18 bulan yang lalu, anak laki-lakiku satu-satunya menjauhi aku. Aku tak tahu kenapa anakku selalu menjauh dariku. Sebenarnya, aku pun tak tahu apa salahku padanya. Aku merasa sangat sedih ketika setiap kali anakku melakukan seperti itu padaku.
Seringkali aku melihat Raka menangis meringkuk di kamarnya. Aku tak tahu ia menangis karena apa. Aku mengira ia menyesal telah menjauh dariku. Tapi ternyata perkiraanku salah. Ia tetap menjauh dariku. Tapi… aku selalu bingung mengapa ia seringkali menangis meringkuk di kamarnya, sendirian?
Hari itu aku pulang jam 8 malam. Aku kerja sampingan di sebuah rumah makan kecil dekat desa rumahku. Aku pulang membawa 2 ekor lele goreng dan 2 jus alpukat sisa makanan di rumah makan tadi. Aku berharap anakku, Raka mau memakan makanan sisa ini.
Aku tiba di rumah. Kulihat Raka sedang membaca sebuah novel. Ia duduk santai seolah tak melihat bahwa aku telah datang.
“Raka, kamu sudah makan?” tanyaku sambil menutup pintu.
Raka diam. Ia tak menjawab. Lalu aku menghampirinya. Aku duduk di sebelahnya. Raka menggeser pantatnya, menjauh dariku.
“Bapak bawa lele nih! Bapak tahu kamu suka lele. Makan bareng yuk!” ajakku.
“Aku udah makan. Tadi bu kepdes dateng kesini. Ngasih makanan sisa acara kondangan tadi buat kita. Tapi, maaf ya pak. Makanannya udah ludes aku makan.” Ucapnya judes. Tatapannya masih terpaku pada novel.
Aku menarik napas bersabar.
“Ya udah, kamu temenin bapak makan ya.” Ajakku lagi.
“Aku kenyang banget. Aku udah nggak laper.” Jawabnya masih saja judes.
“Ya, temenin bapak deh Ka! Kan nggak enak makan sendirian.” Ucapku.
Raka bangkit sambil melempar novelnya dengan keras ke meja. Aku tersentak kaget.
“Pak, aku udah makan. Jangan paksa aku untuk temenin bapak makan. Bapak bisa makan sendiri. Tadi aku aja makan sendiri, masa bapak nggak bisa. Aku udah kenyang.” Bentak Raka.
Aku makin kaget setelah Raka berkata seperti itu.
Raka mengambil novelnya. Lalu jalan menuju kamarnya. Ia membanting pintu kamarnya.
Aku memejamkan mata. Airmataku mengalir. Kuseka airmata yang membasahi pipiku.
Aku berjalan menuju dapur yang berada di sebelah kamar Raka. Aku berniat mengambil piring dan sendok untukku makan. Tapi ketika kulewati kamar Raka, kudengar suara isak tangis. Aku pun mengintip dari balik pintu kamar Raka.
Kulihat anak laki-lakiku sedang menangis meringkuk di lantai. Anakku yang masih kelas 6 SD itu menangis sesenggukan di kamarnya. Aku tak tahan dengan apa yang kulihat. Anakku lagi-lagi menangis. Aku khawatir padanya. Aku takut ia kenapa-napa. Apa yang terjadi denganmu, Raka?
# # #
Aku tak nafsu berangkat ke sekolah. Tak biasanya aku malas berangkat sekolah. Mungkin saja gara-gara tadi malam.
Mataku sembab. Gara-gara nangis semalaman. Aku nggak tahu aku menangis karena apa. Bapak yang membuat emosiku keluar. Sehingga aku jadi malas berangkat sekolah. Belum lagi aku harus melewati sungai untuk menyebrang ke desa sebelah, letak sekolahku berada. Duh… basah dehh… en cape dehh…
Gadis itu duduk di sebelahku. Arine {dibaca: Erin}, begitulah nama sapaannya. Ia anak baru disini. Pindahan dari SD desaku. Kebetulan rumahnya searah dengan rumahku. Arine berniat ingin main ke rumahku. Aku pun memperbolehkannya.
Akhirnya pulang sekolah, Arine main ke rumahku.
Aku dan Arine tiba di halaman rumah. Kulihat ada bapak sedang mengasih makan ikan di sebelah depan rumah. Aku kesal di dalam hati.
“Raka, itu siapa?” Tanya Arine menunjuk bapak.
“Itu ba…” Aku terhenti.
“Ba… Bapak kamu?” Tanya Arine memastikan.
Aku berpikir sejenak.
“Bukan. Itu paman aku.” Ucapku bohong.
“Oh.”
Aku dan Arine menghampiri bapak.
“Permisi, assalamualaikum.” Sapa Arine pada bapak.
“Waalaikumsalam.” Ucap bapak.
Aku mencium tangan bapak. Padahal tak biasanya aku melakukan hal ini. Arine juga mencium tangan bapak.
“Saya Arine, paman.” Ucap Arine.
“Sahabat baru Raka ya?” Tanya bapak.
Duh… pertanyaan yang nggak penting.
“Iya, paman.”
“Ba…” Aku terhenti. Dengan cepat, kuganti kata itu.
“Paman, aku ke dalam dulu ya.”
Bapak begitu kaget.
“Yuk, Rin.” Ajakku.
Aku dan Arine masuk kedalam rumah. Kutengok belakang. Bapak sedang menatapku. Dengan cepat, aku berpaling.
“Ka, paman kamu kenapa?” Tanya Arine.
“Kecelakaan.” Ucapku singkat.
“Kebakaran ya?”
“Iya.”
Arine duduk di atas tikar yang kusediakan. Karena sofanya udah nggak pantas untuk diduduki gadis secantik Arine.
“Rin, aku ambil air minum dulu ya.” Ucapku.
Aku segera menuju dapur.
# # #
Aku mendekati jendela. Kulihat gadis kecil yang cantik memakai pakaian SD {Merah-Putih}. Ia duduk di ruang tamu dalam rumahku. Namanya Arine. Sahabat barunya Raka. Kulihat dirinya duduk sendirian. Aku tak tahu Raka kemana.
Kulihat gerak-gerik gadis itu. Ia mendekati sebuah pigura kecil yang dipajang di atas laci dekat televisi. Ia mengambilnya. Itulah fotoku sebelum kecelakaan kebakaran itu. Aku masih terlihat muda dan tampan. Kulitku masih putih. Dan di foto itu aku masih terlihat sempurna.
Raka datang menghampiri Arine sambil membawa nampan. Secangkir teh ada di atasnya. Raka duduk di hadapan Arine.
“Ka, ini foto siapa?” Tanya Arine menyodorkan pigura foto yang ia pegang.
“Oh, itu foto bapakku.” Ucap Raka.
Aku tersenyum. Aku senang ia jujur tentang foto itu. Ia mengaku bahwa foto itu adalah fotoku. Tidak seperti tadi saat ia memperkenalkanku pada Arine. Ia mengatakan bahwa aku adalah pamannya. Untung saja aku masih bisa bersabar.
“Pantas mirip dengan pamanmu.” Ucap gadis itu.
“Terus, bapakmu mana?” Tanya Arine.
“Bapakku, beliau… beliau sudah meninggal.” Ucap Raka.
Aku seperti tersambar petir. Anak laki-lakiku telah berbohong besar. Tega, ia mengatakan bahwa aku telah meninggal. Mengapa anakku sangat berubah? Mungkinkah ia tak sayang lagi padaku?
“Maaf Ka, aku nggak tahu.”
“Nggak apa-apa kok.”
Airmataku mengalir. Segera kuseka. Lalu aku berjalan menuju dalam.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Ucap Arine. Raka tak menjawab.
Aku berjalan menuju kamarku. Kutatap anakku yang sedang melihatku. Namun, ia segera berpaling.
# # #
Aku baru tiba di rumah. Jam setengah sepuluh malam. Gara-gara banyak pelanggan, aku jadi pulang larut malam.
Lagi-lagi kulihat anakku membaca novel di sofa. Snack-snack berserakan di atas meja. Ia duduk santai. Seperti malam kemarin, ia seolah tak melihatku datang.
“Raka, kamu belum tidur?” tanyaku.
Ia tak menjawab. Ia berjalan menuju kamarnya tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Aku duduk di sofa. Aku menunduk. Aku menangis disana sendirian. Dan ternyata anakku juga sedang menangis meringkuk di dalam kamarnya. Mengapa semua jadi begini?
# # #
Aku terbangun. Langit sudah cerah. Pintu rumah sudah terbuka. Kuhampiri kamar Raka. Kuketuk pintunya. Tak ada jawaban. Kubuka pintunya. Kosong. Syukurlah, Raka sudah berangkat.
Aku duduk di sofa. Aku malas untuk segera berangkat kerja. Aku tiduran sebentar. 2 jam kemudian, aku berangkat kerja.
# # #
Aku pulang jam 3. Seperti biasa, Raka belum pulang sekolah. Tiba di halaman rumah, aku melihat sesosok lelaki muda berdiri didepan pintu rumah. Aku segera menghampirinya.
“Maaf, permisi pak.” Ucapku.
Lelaki itu membalikkan badannya. Ia melihatku. Sepertinya, ia memandangku karena jijik akan tubuhku yang seperti ini. Apalagi jika melihat telinga kananku yang agak hancur.
“Ada apa ya pak?” tanyaku.
“Apa betul bapak orangtua dari Raka?” Tanya lelaki muda itu.
“Iya, betul. Anda siapa ya?”
“Saya dari penerbit buku. Saya ingin berbicara tentang karya tulisan Raka.”
“Tulisan?”
“Iya, kira-kira 4 bulan yang lalu, ia menulis sebuah novel.”
Aku tersentak kaget aku sama sekali tak pernah mengetahui bahwa anakku bisa membuat novel.
“Dan ia menerbitkannya ke Gramedia. Saya salah satu karyawan disana.” Ucapnya.
“Oh, kalau begitu silahkan masuk!” ajakku.
Aku membuka kunci pintu. Lalu aku beserta lelaki muda itu masuk kedalam rumah.
# # #
“Sampai ketemu besok.” Ucap Arine padaku.
“Dadah Arine.” Aku melambaikan tangan pada Arine.
Aku masuk ke wilayah rumahku. Kulihat bapak sedang ada tamu. Aku tak langsung masuk. Aku mengintip dari jendela.
“Terimakasih, pak. Saya sangat berterimakasih.” Bapak menjabat tangan tamu itu dengan gembira. Dan memeluknya.
Ih… sok akrab banget sih bapak.
“Pak.” Panggil tamu itu.
“Saya boleh Tanya sesuatu.”
“Tentu saja.”
“Kalo saya boleh tahu, apa yang terjadi dengan bapak hingga bapak…?” Tamu itu tak melanjutkan pertanyaannya.
Aku melihat wajah bapak. Beliau nampak sedih.
“Maaf pak. Bapak, tidak menjawab pertanyaan saya juga nggak apa-apa kok.” Ucap tamu itu ragu.
“Nggak apa-apa kok pak. Akan saya ceritakan.”
Bapak menarik napas. Dan menghembuskannya.
“Saya kecelakaan. Dulu, saya bekerja di Perusahaan Tegangan Listrik di kota desa sebelah. Pada malam itu, saya bertugas untuk menjaga sendirian. Ketika saya sedang lengah, alat pengatur tegangan listrik konslet. Saya pun memperbaikinya. Tapi karena saya saat itu sangat begitu lelah, akhirnya alat pengatur tersebut meledak. Dan perusahaan tersebut terbakar, ikut dengan saya. Dan saat saya sadar, saya sudah seperti ini.” Lanjut bapak.
Aku menunduk mendengar cerita bapak. Kusadari, airmata itu menetes membasahi kedua belah pipiku. Kulihat bapak. Beliau juga menangis. Airmatanya telah membasahi pipinya.
“Lalu, Raka?” Tanya tamu itu.
Darimana ia kenal denganku dan tahu namaku. Aku saja tak tahu siapa dia.
“Ketika saya masih dalam pencarian, anak saya memang sempat khawatir. Ia mengiringi saya ke rumah sakit. Tapi setelah saya siuman, Raka menjauh dari saya. Mungkin karena melihat saya menjadi berubah seketika seperti ini. Tapi saya nggak tahu pasti mengapa ia menjauhi saya. Setelah saya keluar dari rumah sakit pun, Raka tak pernah menyapa saya sekalipun. Sekalipun saya ajak berbincang, ia menjawab dengan judes tanpa melihat ke arah saya. Atau ia meninggalkan saya begitu saja. Ia seolah tak pernah melihat bahwa ada saya di rumah ini.” Isak bapak.
Aku mulai menangis mendengar cerita bapak. Kisah hidupku dan hidupnya yang kini terulang lagi di pikiranku.
“Saya memang cacat pak. Saya tahu dan saya sadar, kini saya cacat. Tapi apa yang menyebabkan anak saya menjauhi bapaknya sendiri? Mengapa ia begitu membenci saya? Mengapa saya tak pernah dianggap ada di rumah ini, pak. Tak semestinya Raka berbuat demikian. Saya pun tak pernah diakui sebagai bapaknya. Apa salah saya pada anak saya pak?” Bapak menangis menjerit.
Tamu itu mencoba menenangkan bapak.
“Sabar pak. Saya yakin anak bapak pasti menyayangi bapak.”
“Apa buktinya pak? Dia selalu menjauh dari saya. Saya tak dianggap sebagai bapaknya. Apa itu yang dinamakan sayang baginya? Sudah lama saya memendam perasaan ini pak.” Ucap bapak sambil memegang dadanya.
Airmataku terus mengalir. Walaupun beberapa kali kuseka, airmata itu tetap jatuh membasahi pipiku. Aku tak tahu bahwa sikapku itu sudah benar-benar menyakiti hati dan batin bapak.
“Baiklah pak. Kalau begitu saya akan cabut perjanjian mengenai terbitnya novel karangan Raka.”
Aku kaget. Tamu itu ternyata adalah penerbit yang telah menerima novel karanganku. Mengapa aku tak tahu soal ini?
“Jangan, pak. Saya mohon, jangan cabut perjanjian itu.” Pinta bapak.
“Tapi pak, mendengar sikap anak bapak yang seperti itu, saya tak bisa melanjutkan semua ini. Saya rasa ia tak pantas menjadi penulis jika sikapnya saja seperti itu.”
“Pak, sikap Raka memang seperti itu. Tapi saya mohon, terbitkan novel karangan Raka. Saya mohon pak.” Pinta bapak bersujud pada tamu itu.
Aku tak kuat melihat bapak melakukan seperti itu. Aku menunduk. Aku jatuh terduduk. Aku menangis tersendat-sendat dengan keras.
# # #
Kudengar suara itu dengan jelas. Aku kenal dengan suara itu. Suara isak tangis Raka. Pak Hamim, karyawan Gramedia pun mendengar suara isak tangis tersebut. Suara itu berasal dari luar rumah. Aku dan pak Hamim mendekati asal suara.
Kulihat Raka sedang menangis meringkuk di bawah jendela. Ia tersendat-sendat. Ia menangis menjerit. Seperti orang disakiti temannya.
“Raka.” Panggilku.
Raka segera menengokku. Ia berlari ke arahku. Ia memelukku. Ia terus menangis di pelukanku. Aku tak tahu apa yang terjadi dengan anak ini. Apa mungkin ia berantem di sekolah?
“Raka, kamu kenapa?” Tanyaku memegang pipi kanan Raka yang basah.
“Pak, aku nggak benci sama bapak. Aku sayang sama bapak. Bapak jangan berpikir negatif sama Raka. Raka sayang sama bapak. Raka nggak pernah benci sama bapak.”
Raka memelukku lagi.
“Iya, bapak tahu.” Isakku.
Raka melepas pelukanku.
“Enggak, bapak nggak tahu. Selama ini, bapak mengira kalo aku benci sama bapak. Aku nggak pernah sayang sama bapak. Aku nggak pernah merasa kasihan dengan bapak setelah peristiwa kecelakaan itu. Bapak mengira aku selalu menganggap bapak nggak ada. Itu semua salah pak. Bapak selalu berpikiran seperti itu sama Raka. Tapi sungguh pak. Raka nggak pernah berpikiran seperti itu pada bapak. Raka sayang sama bapak. Raka nggak benci sama bapak. Raka sangat sayang sama bapak.” Bentak Raka.
Aku menunduk.
“Bapak tahu, setiap malam aku selalu baca novel. Dan bapak tahu, aku membaca novel hingga bapak tiba di rumah. Itu suatu bentuk bahwa aku menunggu bapak pulang.” ucap Raka tersendat-sendat.
Aku mendongak. Aku benar-benar kaget mendengar perkataan Raka.
“Aku menunggu bapak hingga bapak pulang. Aku ingin melihat wajah bapak sebelum aku masuk ke dunia mimpiku. Aku ingin mendengar bapak berbicara padaku. Ya, memang. Aku selalu nyuekin bapak jika bapak ngomong. Itu karena aku nggak sanggup untuk berbicara pada bapak. Aku sedih pak.”
Aku benar-benar menangis disana.
“Aku memang punya rasa malu untuk mengaku pada Arine bahwa bapak adalah bapak Raka. Makanya, aku nggak sanggup mengaku pada Arine. Tapi sungguh pak, ketika aku ucapkan bahwa bapak adalah pamanku dan bapak telah meninggal, hatiku benar-benar sakit dan tak tega berbicara seperti itu. Tapi aku malu pada Arine jika aku jujur pak. Memang, aku selalu berpikir yang negatif sama bapak. Tapi karena itu aku masih memendam emosi berat pak.” Ucap Raka.
“Pak, aku sayang sama bapak. Mungkin bapak mengira bahwa aku benci bapak. Enggak pak. Aku sama sekali nggak benci sama bapak. Hanya saja aku perlu waktu untuk menerima kenyataan ini.”
Aku menatap Raka. Matanya sembab. Pipinya sudah benar-benar basah. Karena airmatanya dan keringatnya yang bercucuran. Kupeluk dirinya. Ia memelukku erat.
“Aku rindu pelukan hangat bapak.” Ucap Raka.
“Bapak juga rindu dengan pelukanmu, Raka.” Ucapku.
Kulepas pelukanku. Aku mengelap airmata Raka.
“Bapak percaya sama kamu, Raka.”
Raka tersenyum. Aku hampir ingin menangis lagi. Senyumannya yang kurindukan berbulan-bulan.
“Setiap kali aku menangis meringkuk di kamar karena aku sedih melihat keadaan bapak. Hanya itu pak. Aku selalu tak tahan jika berhadapan dengan bapak. Tapi sungguh, aku menyayangimu. Pun mencintaimu.” Ucapnya lagi.
Kukecup keningnya.
“Pak.” Panggil pak Hamim.
Aku bangkit dari jongkokku. Begitu pula dengan Raka.
“Saya akan kembalikan perjanjian tadi. Novel karangan Raka akan saya terbitkan.” Ucap pak Hamim.
Aku tersenyum. Kulihat Raka juga tersenyum. Ia menatapku. Aku langsung bersujud syukur. Setelah itu kupeluk Raka. Ia sangat bahagia.
# # #
Aku pun sadar. Tak perlu malu untukku mengakui bahwa bapak adalah bapakku. Tak perlu lagi aku berbohong pada Arine. Kini aku makin sayang pada bapak. Aku telah berjanji takkan mengecewakan bapak lagi. Karena aku sangat menyayangi bapak.
Berkat bapak, novel karanganku yang berjudul “Mana Janjimu, Ayah?” telah terbit. Novel karanganku sudah mencapai ribuan lebih eksemplar. Novel yang berisi tentang kehidupan sang anak dengan bapaknya yang tak sempurna telah menjadi novel yang menggempar di seluruh Indonesia. Itu karena doa bapak yang menyertaiku. Terimakasih bapak. Aku selalu mencintaimu untuk selamanya.
selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar