Untuknya Dariku

Dibanjiri kenangan pada indah matamu, Pada pecah senyummu, Pada belaian pucat resahmu, Langitpun membiru kosong, Dihangati uap api kerinduan ini, akupun ingin menyambangimu, Membawa sepi yang pernah kau tinggalkan, Bagaimana ku lukiskan maaf, Bila kanvas hati enggan kau buka, Bagaimana aku mendekati rindu, Bila sedetik kutemui kau berubah arah, Diingatkan petang,akupun beranjak pergi, Membawa lagi sepi ini pulang.

Sabtu, 01 Januari 2011

Cerpen: Tentang Sahabat


Nama Pemain: Iza - Afifah - Dimas (Spesial Aksi Anak Bangsa)

_ Ukiran Persahabatan_
Afifah meniup serbuk-serbuk penghapus yang mengotori lembar sketsanya. Ia tersenyum puas setelah melihat lukisan yang tersembunyi di balik serbuk penghapus tersebut. Lukisan yang selalu ingin membuatnya selalu tersenyum.
“Yeeyy… 11 – 8,” teriak seorang lelaki yang tengah berjalan mundur menghindari seorang sahabatnya di lapangan basket sana. Ia baru saja memasukkan angka ke dalam ring basket setelah melewati pertahanan sahabatnya yang begitu ketat.
Afifah melirik sekilas kedua sahabat itu. Senyumannya masih tersungging di bibir tipisnya.
“Ayooo Dim, jangan mau kalah dari Izaaa…” teriak Afifah kemudian.
Kedua lelaki di lapangan basket sana menengok sekilas ke sumber suara. Seorang gadis tengah duduk di bangku pinggir lapangan sana sambil memangku sebuah sketsa kecil di pahanya. Kedua lelaki itu kemudian saling pandang dengan tatapan sedikit menantang.
“Ayo kita lanjutkan!” seru lelaki yang tadi memasukkan angka.
“Oke. Aku pasti menang,” lelaki yang lain angkat suara, ia melirik sekilas ke Afifah yang tengah memandangnya. Kemudian ia kembali memandang sahabat, sang master basket di hadapannya, “Demi Afifah,” lanjutnya.
Lelaki yang tadi memasukkan angka menaikkan satu alisnya dengan tatapan meremehkan, ia mengambil bola basket yang tergeletak di aspal lapangan begitu saja. Ia memantulkan bola tersebut ke aspal berkali-kali kemudian mengatakan, “Ayo kita buktikan!”
Secepat kilat, lelaki itu merebut bola basket dari tangan sang master basket. Dengan lincahnya, ia mendrible menuju ring basket. Sang master basket tadi mencoba untuk merebut kembali bolanya. Ia mencegah aksi sahabatnya itu yang hendak memasukkan bola ke dalam ring. Namun dengah cepat pula, lelaki itu loncat dan melempar bola tersebut ke arah ring. Dan…
SHUT!! Dengan ringannya bola basket itu menjebol jarring basket di atas sana.
Three point.
Sang master basket tadi tercengang tak percaya melihatnya. Ia kemudian membalik tubuhnya menghadap sahabatnya itu.
“Keren kau Dim!” pujinya.
Lelaki yang disapa ‘Dim’ tadi hanya tersenyum kecil sambil melangkah mengambil bola basket.
“Itu baru pemanasan Za. Masih 11 sama. Pertandingan belum usai,” katanya.
“Baik, kita lanjutkan permainan kita!” ucap lelaki yang disapa ‘Za’ tadi dengan tegas.
Afifah hanya tersenyum melihat tingkah dua sahabatnya di lapangan basket sana. Bertindak seolah-olah mereka adalah pemain basket professional yang tengah bertanding untuk mendapat gelar Pemain Basket Terbaik Se-Dunia. Afifah kembali memperhatikan dua sahabatnya yang kini tengah beradu kemampuan dalam bermain basket. Iza dan Dimas. Dua sahabat yang selalu menghiasi serta menemani hari-hari Afifah dengan penuh makna, canda, dan tawa. Dua sahabat yang selalu membuat Afifah tersenyum dengan tingkah konyol mereka. Ya, hanya Iza dan Dimas-lah yang mampu membuatnya begini. Dan takkan pernah terganti.
Afifah mendongakkan kepalanya begitu sadar bahwa titik-titik air membasahi tangannya. Makin lama titik air itu semakin cepat turunnya. Afifah membereskan alat-alat lukisnya. Ia dekap erat sketsanya itu lalu bangkit dari duduknya.
“Iza, Dimas. Ayo ke kelas! Hujan!” ajak Afifah.
Iza dan Dimas yang sedang bertarung sengit di lapangan sana akhirnya menghentikan permainannya. Mereka berlari mengikuti Afifah meninggalkan lapangan basket.
Afifah meletakkan bawaannya di atas meja, lalu mencoba menyapu seragamnya yang basah oleh air hujan.
“Ah, kenapa harus hujan sih? Kan lagi seru!” keluh Iza kemudian duduk di atas meja di dekat pintu.
“Iya. Padahal tadi tanggung banget. Selangkah lagi aku bisa memasukkan three point,” tambah Dimas.
Afifah tak menyahut. Ia masih sibuk menyapu seragamnya yang basah itu. Kemudian ia membawa sketsanya tadi menuju bangkunya yang terletak di ujung belakang sana. Iza dan Dimas saling pandang melihat tingkah Afifah yang nampaknya kali ini berbeda. Dimas kemudian mengikuti Afifah menuju bangku belakang. Iza juga bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati Afifah dan Dimas.
“Kamu kenapa Fah? Diam saja,” tanya Dimas. Ia sudah duduk di bangku hadapan Afifah.
“Nih, lihat! Sketsaku basah,” Afifah menunjukkan sketsanya pada Iza dan Dimas. “Padahal tinggal ku oles sedikit, lukisan ini selesai. Tapi sekarang malah basah. Harus mengulang dari awal deh!” keluh Afifah.
“Dikeringin aja dulu Fah. Pasti gak lama kok,” usul Iza yang masih berdiri di sebelah meja Afifah.
“Terserah aja deh mau diapain! Aku mau bikin yang baru,” kata Afifah mengeluarkan beberapa alat lukis seperti pensil warna, cat minyak, dan alat lukis lainnya.
“Bikin dimana Fah?” tanya Dimas.
Afifah menggeser pantatnya mendekati tembok. Lalu ia mulai sibuk mengukir sesuatu memakai alat lukisnya di tembok sana.
“Hei, tembok kelas tuh! Jangan dicoret-coret Fah!” teriak Iza.
“Hehee… Dikit mah gpp Za,” kata Afifah yang masih sibuk dengan aktivitasnya.
Iza duduk di sebelah Afifah, dan memperhatikan apa yang ditulis sahabatnya itu di tembok sana. Dimas juga memajukan kepalanya agar bisa melihat apa yang ditulis Afifah.
“Keren Fah!” puji Iza setelah melihat apa yang diukir Afifah di tembok sana.
“Makasih Iza,” ucap Afifah malu-malu, namun tetap mengerjakan aktivitasnya.
“Eh, ayo kita ukir bersama!” ucap Afifah lagi yang kini menghentikan aktivitasnya.
“Waw, boleh tuh!” kata Dimas yang kemudian mengambil salah satu alat lukis Afifah, dan mulai melanjutkan ukiran Afifah itu.
“Aku juga mau,” sahut Iza tak mau kalah. Ia juga mengambil salah satu alat lukis Afifah dan ikut mengukir sesuatu di tembok itu.
Afifah terkekeh geli. Namun hanya sesaat, ia kembali mengukir… Ehm, nama persahabatan mereka di tembok sana. Ya, mengukir sebuah nama persahabatan bersama kedua sahabatnya. Iza dan Dimas. Ditemani oleh suara turunnya hujan yang semakin membuat suasana terasa damai bagi mereka.
---
Dimas meraih botol minumnya lalu meminumnya beberapa teguk. Iza yang baru datang juga mengambil botol minumnya dan meminumnya.
“Dim, Za. Duluan yaa…” kata Nico, teman tim basket mereka yang hendak melangkah meninggalkan lapangan basket.
“Hati-hati Nic,” sahut Dimas yang baru saja menyelesaikan tegukannya.
Nico tak menyahut, hanya memberi sebuah acungan jempol setelah itu melesat pergi.
Dimas memasukkan kembali botol minumnya ke dalam tas, lalu menyelempangkan tasnya di pundak kirinya.
“Loh? Mau balik sekarang Dim? Main lagi yuk bentar!” ajak Iza yang melihat Dimas bangkit dari duduknya.
“Ada les Za. Kapan-kapan aja. Lagipula baru aja selesai ekskul basket mau ngajak main lagi. Istirahatlah dulu sob,” kata Dimas menepuk pundak Iza.
“Yaudah aku duluan ya. Kak Iwan udah nunggu di depan tuh!” Dimas melangkahkan kakinya meninggalkan Iza.
Iza tersenyum kecil, lalu memandang punggung Dimas yang makin menjauh yang kemudian hilang ditelan tikungan.
Iza juga meraih tasnya lalu melangkah meninggalkan lapangan basket.
Koridor kelas mulai sepi. Anak-anak sudah berpulangan sebelum ia melaksanakan pertemuan dengan tim basketnya karena ada ekskul tambahan tadi. Iza menghentikan langkahnya, lalu menatap ke bawah.
“Ah, lepas lagi,” keluh Iza yang langsung berlutut membenarkan tali sepatunya yang lepas.
Selagi Iza mengikat tali sepatunya, rintik-rintik hujan kembali membasahi bumi. Iza yang niatnya ingin langsung pulang ke rumah mengurungkan niatnya. Ia pun mengelilingi koridor kelas untuk menghilangkan kejenuhannya. Langkahnya kembali terhenti ketika ia melewati kelasnya. Sudut matanya menangkap seseorang tengah duduk di dalam kelasnya ketika Iza melewatinya. Akhirnya Iza membalik tubuh dan memasuki kelasnya. Dan benar, seorang gadis tengah duduk di sudut kelas sambil mengerjakan sesuatu di atas mejanya.
“Ifah kok belum pulang?” tanya Iza begitu tahu bahwa gadis itu adalah Afifah.
Afifah menengadahkan kepalanya. Ia tersenyum kecil begitu melihat Iza tengah berjalan mendekatinya.
“Belum. Kan aku nungguin kamu Za. Udah selesai kan ekskulnya?” tanya Afifah.
“Hem, kayaknya belum deh Fah. Iza masih main basket tuh di lapangan sama teman-temannya,” kata Iza dengan nada yang sedikit konyol.
Afifah memukul lengan Iza dengan gemas. Sementara Iza hanya terkekeh.
“Ih, gak usah bercanda deh kamu. Terus Dimas mana?” tanya Afifah lagi.
“Dimas? Udah pulang tuh! Ada les katanya,” sahut Iza.
“Oh, yaudah kita pulangnya nunggu hujan reda aja ya Za,” kata Afifah yang kemudian kembali berkutat pada pekerjaannya di atas sketsanya.
Iza membiarkan Afifah sibuk pada aktivitasnya sendiri, pula membiarkan keheningan menyelimuti mereka, hanya suara hujan turun yang terdengar di telinga Iza.
Iza melirik Afifah yang masih sibuk dengan sketsanya. Ia mulai jenuh dengan keheningan ini. Akhirnya ia mengambil salah satu alat lukis Afifah dan mulai mengukir sesuatu di tembok sebelahnya. Tembok yang sama seperti tembok yang beberapa hari lalu ia, Afifah dan Dimas mengukir nama persahabatan mereka.
“Hey Za, ngapain?”
Pertanyaan Afifah tadi cukup membuat Iza tersentak kaget. Ia melirik Afifah sekilas.
“Gak ngapa-ngapain kok Fah,” Iza nyengir, kemudian melanjutkan aktivitasnya.
“Ih bohong,” Afifah lalu menggerakkan kepalanya mendekati balik punggung Iza yang menutupi kegiatan yang sedang Iza lakukan. Iza pun mencoba untuk menutupi kegiatan yang ia lakukan. Namun sepertinya Afifah memang ngotot ingin melihat apa yang Iza lakukan, alhasil Afifah menemukan sebuah ukiran namanya dan nama Iza di tembok yang ditutupi Iza. Bukannya marah, Afifah malah merebut alat lukis yang dipegang Iza lalu melanjutkan ukiran buatan Iza tadi. Akhirnya Iza mengambil alat lukis Afifah yang lain dan membantu Afifah mengukir nama mereka berdua disana. Ya, mereka berdua. Hanya berdua, dan tanpa Dimas.
Air hujan masih mengguyur bumi, memberikan kehangatan untuk kedua insan di dalam kelas sana, yang mengukir nama mereka berdua di sudut tembok kelas.

_ Keegoisanku Merubah Segalanya_ (Iza P.O.V.)
Aku memutar lagi rubikku menjadi bentuk yang berantakan. Lalu aku membenarkannya kembali ke bentuk semula. Sudah berulang kali aku memutar-mutar rubikku, merasa bosan dengan keheningan yang menyelimuti kami. Sesekali aku melirik dua sahabatku dengan sedikit kesal yang duduk agak jauh di hadapanku. Mereka juga sedang main rubik, sama sepertiku. Bukan, kurasa mereka tak sepenuhnya bermain rubik. Sesekali Afifah meminta bantuan Dimas untuk memberitahu cara menyelesaikan rubik itu. aku tahu, Afifah memang tak mengerti cara bermain rubik. Dan aku pun tahu, Dimas sangat jago memainkan rubik ini. Tapi bisakah mereka tak menghiraukanku?
Aku bosan. Aku jenuh. Aku bangkit dari dudukku dan berjalan mendekati mereka.
“Ada permainan lain?” tanyaku memecah keheningan.
“Sebentar Za, lagi tanggung. Terus ini gimana lagi Dim?” Afifah langsung berpaling ke Dimas.
Jujur. Aku kesal dengan perlakuan Afifah tadi. Entah datang darimana rasa kesal itu, yang jelas aku benar-benar kesal dan tak tahan oleh semua ini.
“Tinggal diputer gini aja Fah, terus samain warnanya,” Dimas menunjukkan caranya dengan memakai rubik lain.
Kulihat Afifah mencoba melakukan apa yang tadi dipraktikkan oleh Dimas, namun sepertinya ia merasa kesusahan.
“Ih, gak ngerti Dim,” rengek Afifah kembali berpaling ke Dimas.
Aku yang merasa benar-benar kesal akhirnya merebut rubik dari tangan Afifah. Dimas yang hendak membantu Afifah segera menoleh ke arahku. Afifah pun demikian.
“Ini tuh gampang Fah. Liatin! Cuma diputer, terus samain warnanya. Nah! Jadi kan? Gitu doang kok pake minta diajarin Dimas segala sih,” kataku mempraktikkan apa yang tadi diucapkan Dimas.
“Kan aku gak tahu Za,” kata Afifah.
“Ya tapi masa gini aja gak tahu. Ini tuh gampang. Aku juga bisa, bukan hanya Dimas,”
Entahlah, aku tak tahu kenapa tiba-tiba aku berucap begitu kasar pada Afifah. Hingga membuat Afifah berdecak kesal dengan perlakuanku. Lalu ia merebut rubik dari tanganku.
“Tapi aku mau nya diajarin Dimas,” kata Afifah kemudian.
Dan lagi-lagi rasa kesal itu hadir. Aku kembali merebut rubik dari tangan Afifah.
“Aku juga bisa Ifah,” ucapku sedikit membentak.
“Gak mau!” Afifah menarik rubik dari tanganku. Aku pun juga menariknya. Dan cukup lama aku dan Afifah saling tarik-menarik rubik yang tak berdosa ini. Dimas pun cukup kewalahan memisahkan kami. Hingga akhirnya…
PRANG!!
Aku dan Afifah melepas rubik itu secara bersamaan. Alhasil, rubik itu jatuh dan pecah.
“Iza!” bentak Afifah kemudian.
“Kenapa? Kamu mau bilang ini salah aku?” bentakku.
“Itu emang salah kamu Za. Ini nih rubik aku. Hadiah ulangtahunku dari Dimas, dan kamu menghancurkannya, Iza,” kata Afifah dengan nada gemetar.
Dan aku pun tak tahu, tiba-tiba saja aku merasa tak peduli dengan ucapan yang baru saja kudengar dari mulut Afifah. Bahkan mendengar suara Afifah yang bergemetar itu pun aku tak peduli.
“Ah, ini kan masih bisa dipasang lagi. Lagipula berapa mahalnya sih rubik ini? Aku bisa menggantikannya dengan yang lebih bagus dari ini,” ucapku. Mungkin dengan nada yang sedikit sombong.
Setelah ucapanku barusan, aku merasakan sebuah dorongan yang cukup keras menghantam pundak kiriku. Aku membalik tubuhku melihat Afifah yang tadi mendorong pundak kiriku, kini ia tengah berlari menuju pintu.
“Kau berubah Za,” ucapnya di ambang pintu. Lalu kembali melangkahkan kakinya keluar rumah setelah membanting pintu tersebut.
“Gara-gara kamu Za,”
“Hey, apa salahku?” Aku mendelik sambil membalikkan tubuhku kembali menghadap Dimas.
“Sudah tahu kau yang berbuat salah, pake nanya apa salahmu. Kau pikir Za, rubik ini pecah gara-gara siapa? Gara-gara kamu,” kata Dimas sedikit membentak.
“Jangan asal tuduh kamu, Dim! Jelas-jelas Afifah yang buat masalah. Ia tak mau memberikan rubik itu padaku, aku kan juga ingin mengajarinya cara bermain rubik,” ucapku tak kalah keras dari Dimas.
“Itu karena ia tak ingin diajari olehmu. Kau tak boleh memaksanya,”
“Ah, sesuka aku dong! Lagipula rumah ini adalah rumahku. Jadi tak ada yang boleh mengelak dari perkataan sang tuan rumah,”
Dimas mendengus kesal.
“Benar apa yang dikatakan Ifah tadi. Kau memang berubah Za,” ucapnya kemudian melangkah keluar rumah.
---
Aku memandangnya. Ya, rubik milik Afifah yang hancur berkeping-keping. Setelah kupandangi cukup lama, aku mengambilnya dan mulai memasang satu persatu rubik yang berantakan di atas ranjangku. Aku sengaja menaruhnya di atas ranjang agar tidak disapu oleh bunda bila tetap dibiarkan di lantai ruang tamu. Aku tak tahu kenapa aku bersikap begitu kasar kepada Afifah. Entahlah, hatiku terasa gundah bila melihat kejadian tadi ketika Afifah meminta bantuan pada Dimas. Aku merasa sedikit kesal bahkan sangat kesal melihatnya. Aku tak tahu kenapa hal itu terjadi. Tapi memang itulah yang kurasakan saat itu. Aku seakan ingin menang sendiri. Dan aku tak ingin melihat kedua sahabatku itu saling dekat. Sahabat? Iya, sahabatku. Tapi, kenapa kini aku merasa pahit sekali setelah mengucap kata sahabat untuk persahabatan kami.
Akhirnya rubik milik Afifah selesai kuperbaiki. Aku menyimpannya di dalam tas. Aku berniat akan mengembalikannya pada Afifah esok hari di sekolah, sekaligus aku ingin minta maaf padanya atas kelakuanku tadi.
---
Aku melangkah santai menelusuri sepanjang koridor kelas. Namun kesantaian itu lenyap ketika aku tiba di ambang pintu kelas.
Aku kembali melihatnya. Afifah dan Dimas. Mereka sedang berdua di sudut tembok kelas sana, mereka tengah bercanda mesra. Iya, mereka tertawa. Entah, tiba-tiba aku merasakan bahwa mereka sedang menertawakanku. Menertawakan tingkah bodohku di kemarin hari. Aku kesal, ya benar, sangat kesal. Ingin rasanya aku kembali beranjak keluar kelas untuk berlari ke rumah, namun kakiku terasa kaku untuk digerakkan keluar kelas. Aku sudah berniat ingin meminta maaf pada Afifah, dan itu janjiku. Aku tak bisa pergi.
Akhirnya dengan sedikit kekuatan, aku mendekati meja Afifah dan Dimas di belakang sana. Tawa mereka terhenti ketika menyadari bahwa aku mendekati mereka.
“Pagi Iza,” sapa Afifah, memberikan sebuah senyuman padaku. Dan jujur saja, itu adalah senyuman tercantik yang pernah kulihat.
“Pagi Fah. Hei, Dim,” sahutku.
Dimas tak menyahut, mungkin ia heran dengan tingkahku dan Afifah yang nampaknya bertolakbelakang dengan kejadian kemarin di rumahku.
“Oh iya Fah, ini rubikmu,” Aku langsung meraih rubik dari dalam tasku, dan memberikannya pada Afifah. “Sudah kuperbaiki,” lanjutku.
Afifah kembali tersenyum, dan meraih rubik dari tanganku. Afifah memperhatikan rubiknya dengan perasaan bangga yang menyelimuti dirinya.
“Makasih ya Za,” ucap Afifah.
Aku hanya berdehem, kemudian duduk di hadapan Afifah dan Dimas.
“Bantu lagi dong, Dim!” Afifah mendekatkan rubiknya pada Dimas, meminta bantuan kembali dari Dimas.
Lagi-lagi aku merasakan itu semua. Tiba-tiba saja rasa ketidaksukaanku melihatnya hadir kembali. Benar, aku merasa kesal.
Kulihat Dimas melirikku, namun aku segera melengos pelan.
“Dimas, Bantu aku!” ulang Afifah.
Aku kembali melihat kedua makhluk di hadapanku. Dimas mulai mengajari Afifah kembali. Aku yang merasa diabaikan segera bangkit dari dudukku, dan sukses membuat Afifah dan Dimas menengadahkan kepalanya melihatku.
“Bukan berarti aku membetulkan rubikmu itu karena aku merasa bersalah. Enggak Fah, itu semua tetep kesalahanmu,”
Dengan lancarnya aku mengucapkan kata yang cukup menyakitkan itu. Aku tak tahu, kalimat itu terlontar saja dari mulutku. Tanpa kupikirkan apa respons dari Afifah dan Dimas bila kuucapkan kata itu. Tapi aku rasa aku tak perduli itu.
“Oke, kalau emang itu semua kesalahanku. Aku minta maaf,” kata Afifah.
“Fah, bukan kamu yang salah,” larang Dimas.
“Sudahlah Dim, aku capek ribut dengan Iza terus. Za, aku minta maaf atas kesalahanku yang kemarin,” ucap Afifah.
“Maaf saja tak cukup bagiku, Fah,” ucapku sedikit membentak.
Dimas segera bangkit dari duduknya. Ia menyambar kerahku.
“Sudah bagus Ifah mau minta maaf denganmu, padahal kamu yang salah. Tapi tadi kamu bilang apa? Minta maaf saja tak cukup? Bodoh sekali kamu, Za. Ifah tuh sahabatmu! Dan kamu tak mau memaafkannya. Kenapa? Karena apa?” bentak Dimas masih memegang kerah seragamku.
Aku mendorong Dimas. Ia terlempar ke belakang sehingga cengkramannya terlepas dari kerah seragamku.
“Karena aku cemburu melihatmu dengan Ifah,” bentakku lebih keras.
Oke, aku tahu. Ucapanku tadi benar-benar bodoh. Afifah yang merasa kaget langsung pergi keluar kelas dengan membawa tas ranselnya. Aku tak tahu ia kenapa. Tapi kulihat ia menangis. Iya, Afifah menangis.
Afifah lenyap ditelan pintu kelas. Kulihat beberapa pasang mata melihatku dengan beberapa tatapan. Tatapan iba, tatapan benci, tatapan mengawasi, dan lain sebagainya. Ah, bodoh sekali aku ini!
“Kenapa harus cemburu Za?”
Pertanyaan dari Dimas tadi membuatku membalik ke arah Dimas. Ia melirikku tajam, aku pun balas meliriknya tajam.
“Aku dan Afifah adalah sahabat. Kau pun juga begitu, adalah sahabatku dan Afifah. Lalu untuk apa kau cemburu Za?” tanya Dimas melanjutkan.
Aku diam, tak merespons apa-apa pertanyaan Dimas tadi. Karena kurasa itu semua tak perlu dijawab. Dan karena aku tahu, Dimas mengerti apa maksud dari kata ‘cemburu’ dariku terhadapnya dan Afifah.
Dimas menarik tas ranselnya. Ia berjalan melewatiku. Sebelumnya ia berhenti di sebelahku, menepuk pundak kiriku, dan berbisik,
“Aku tahu kau cemburu, tapi tak semestinya kau membentak Afifah tadi. Bila kau memang suka, katakan saja. Tapi ingat! Kita sahabat Za. Jangan ingkari janji persahabatan kita. Demi aku, kamu, dan Afifah!”
Bisikan itu terus terngiang di telingaku. Bahkan hingga Dimas beranjak dari sisiku pun bisikan itu masih tetap terngiang. Membuatku merasa bahwa aku adalah orang paling bodoh sedunia. Ya, aku bodoh. Benar-benar bodoh.
---
Aku tak mengerti dengan perasaan ini. Apa yang kurasakan saat ini pun aku tak tahu? Aku merasa tak punya lagi akal pikiran sehingga membuatku tak berpikir dahulu sebelum bertindak. Sehingga membuatku egois. Egois akan perasaanku terhadap oranglain. Pula egois yang tak bisa melihat orang yang kusukai bersama oranglain. Orang yang kusukai? Ya benar. Afifah. Aku menyukainya. Bukan suka sekedar sahabat, tapi kurasa itu lebih. Ah, kenapa aku harus melakukan tindakan bodoh seperti tadi?
“Iza,”
Aku menengok ke ambang pintu kamar ketika kusadari suara kak Arry memanggilku. Aku berjalan mendekati pintu, dan membukanya.
“Ada apa kak?” tanyaku setelah kudapati sesosok kak Arry berdiri di balik pintu.
“Ada telepon tuh, dari Dimas!” kata kak Arry menyampaikan sebuah pesan.
“Oh, iya kak. Makasih,” ucapku.
Setelah itu kak Arry kembali melanjutkan aktivitasnya menonton tv, sedangkan aku berjalan menuju ruang tamu, karena disanalah letak telepon berada.
“Assalamualaikum. Kenapa Dim?” sapaku agak malas-malasan.
“Waalaikumsalam. Hey Za, cepat ke rumah sakit! Ifah kecelakaan,”
JDER!
Kurasakan sebuah petir di atas sana menghantam tepat di dadaku. Ifah kecelakaan? Nggak mungkin!
“Za, Iza, kamu masih disana kan?” tegur Dimas.
Aku tersadar. Secepat mungkin aku mencari informasi dari Dimas. Ifah kecelakaan itu nggak mungkin banget.
“I, iya. Tapi, tapi Ifah kecelakaan gimana? Kondisinya gimana sekarang?” tanyaku nggak sabaran. Iya, aku tak sabar. Hatiku berdebar cepat, seakan aku tak rela bila harus ditinggalkan oleh seorang Afifah.
“Tadi sepulang sekolah. Ifah nyebrang nggak hati-hati, makanya dia ketabrak motor yang lagi lewat. Aku juga baru tahu sekarang. Lebih baik cepat kamu kesini!”
“Ta, tapi Ifah baik-baik aja kan?”
“Syukur sih udah agak mendingan. Udah Za, cepet kamu kesini!”
Setelah kalimat Dimas tadi aku langsung menutup telepon, dan berlari keluar rumah.
“Za udah malem, mau kemanaaa??” teriak kak Arry dari dalam rumah.
“Ke rumah sakit kaaak,” teriakku, lalu segera melesat pergi ke rumah sakit.
---
Langkahku terhenti di ambang pintu kamar rumah sakit yang ditempati Afifah. Aku merasa ragu untuk memasukinya. Jelas saja, baru tadi pagi di kelas aku ribut dengannya. Lalu kini aku datang untuk menjenguk Afifah. Rasa gengsiku hadir kembali. Ah, perasaan apa sih ini yang mengusikku? Aku tak ingin seperti ini terus. Pokoknya aku harus minta maaf sekarang juga. Ya, hanya mengucapkan kata maaf setelah itu pulang, mungkin itu pun sudah cukup. Lagipula kurasa Afifah takkan mungkin berlaku kasar padaku bila bukan aku yang memulainya.
Dan akhirnya setelah berpikir panjang, aku memutar kenop pintu kamar Afifah, dan membukanya.
Kulihat Afifah dan Dimas di dalam sana. Mereka memandangku, ya, mereka kini melihatku.
“Malam Iza,” sapa Afifah lembut.
Afifah tak seperti biasanya. Ia nampak pucat dengan pakaian rumah sakit itu. Apalagi setelah kulihat alat infus yang terpasang di lengan kanannya, tubuhnya terlihat semakin kurus.
“Makasih ya udah mau jenguk aku,” lanjutnya memberikan sebuah senyuman. Senyuman tipis dengan bibir yang pucat.
“Aku cuma kebetulan lewat kok, Fah” ucapku kemudian dengan sedikit jutek.
Aku tak tahu kenapa aku mengeluarkan nada suara seperti itu. Tapi tak ada penolakan sama sekali dariku ketika aku mengeluarkan ucapan dan nada yang jutek itu. Seakan kata-kata itu keluar dengan sendirinya.
“Kok kebetulan? Bukannya kamu kesini emang mau jenguk Ifah,” tanya Dimas seidkit mengintrogasi.
“Siapa bilang? Aku menemani kak Arry kok. Dia lagi beli obat di rumah sakit ini untuk penyakitnya itu. Kebetulan saja aku melewati kamar ini, ya, aku mampir deh!”
Aku tahu itu bohong belaka. Ucapan yang seharusnya tak keluar dari mulutku. Tapi kenapa harus lagi-lagi kata yang cukup menyakitkan itu yang keluar dari mulutku.
“Lalu kak Arry mana?” tanya Dimas. Sepertinya ia tak tahu bahwa aku telah berbohong.
“Di apotek. Dia mungkin sudah menunggu di luar. Aku duluan ya,” ucapku pamit.
Belum kulangkahkan kakiku, suara serak Afifah mencegahnya.
“Jadi kamu kesini bukan untuk menjengukku?” Begitulah kira-kira ucapan Afifah.
“Aku kesini hanya untuk menemani kak Arry. Lagipula bila memang aku ingin menjengukmu, aku pasti membawa parsel untukmu. Tapi kali ini tidak kan? Aku hanya kebetulan lewat saja. Eh tapi gimana keadaanmu Fah? Sudah baik kan?”
Bagus. Kata-kata itu lagi yang keluar dari mulutku. Ah, ada apa dengan mulutku ini? Kenapa tak bisa berkompromi dengan hatiku yang sebenarnya tak ingin mengucapkan kata-kata bodoh itu?
“Alhamdulillah Za, udah agak baikan,” ucap Afifah.
Aku lihat segurat kekecewaan nampak jelas di wajah Afifah. Aku tahu dia kecewa karena aku. Karena sikapku, sikap yang begitu bodoh yang kulakukan terhadap Afifah.
“Oh, bagus deh kalo gitu. Berarti aku boleh pulang kan?”
“Iza kamu apa-apaan sih? Bukannya tadi kamu khawatirin Afifah di telepon? Terus sekarang kenapa kamu jadi mojok-mojokin Afifah. Kamu kenapa sih Za?” tanya Dimas sedikit membentak. Aku tahu ia tak suka dengan perlakuanku terhadap Afifah.
“Ah, sok tahu kau Dim! Memang seberapa kekhawatiranku pada Afifah saat tadi di telepon? Nggak usah sok tahu kamu Dim. Dan buat kamu Fah, nggak usah kegeeran dulu kalo aku ke rumah sakit untuk menjenguk kamu. Aku kesini hanya menemani kak Arry. Kebetulan saja aku melewati kamar ini, makanya aku mampir dulu kesini. Dan hanya untuk menanyakan kabarmu. Bukan untuk menjengukmu. Jadi jangan kegeeran kamu, Fah,”
Aku merutuki diri sendiri, merasa bersalah dengan ucapanku barusan. Karena setelah ucapanku itu, kulihat Afifah semakin kecewa bahkan mulai ingin menangis. Dimas mendekati Afifah dan menenanginya. Tapi bukannya tenang, Afifah malah menangis. Dan aku? Aku hanya diam di ambang pintu. Tak ada niat sama sekali untuk menggerakkan kakiku mendekati Afifah. Aku tak tahu kenapa itu terjadi. Bahkan aku makin kesal setelah melihat kedua makhluk itu kembali bersama.
“Udahlah Za, kalo kamu kesini Cuma buat nyakitin Ifah, lebih baik kamu pulang aja. Afifah juga nggak mengharapkan tamu semacam kamu datang kesini,” ucap Dimas yang masih menenangkan Afifah.
Dan kau tahu? Dimas memeluk Afifah, dan Afifah menangis tersedu-sedu di pundak Dimas. Dan hal itu sukses membuatku semakin kesal padanya.
“Baik, aku pulang. Percuma saja aku kesini, hanya membuang waktuku saja. Lebih baik tadi aku menemani kak Arry ke apotek, dan tak usah mampir kesini.”
Aku cukup kaget dengan ucapanku. Bukan hanya aku, bahkan Afifah dan Dimas juga kaget dengan ucapanku itu. Aku segera melangkahkan kakiku keluar dari kamar Afifah, sebelum kata-kata kasarku keluar lagi dari mulutku.
---
Sungguh, aku tak tahu dengan diriku sendiri. Apa yang terjadi denganku? Kenapa aku begitu kasar pada Afifah tadi? Kenapa mulutku tak bisa berkompromi dengan hatiku saat itu? Sungguh aku tak ingin menyakiti hati Afifah. Sudah seringkali aku menyakitinya, dan aku tak ingin mengulanginya kembali. Tapi kenapa dan kenapa? Kenapa aku tak bisa mengucap maaf pada Afifah? Dan kenapa harus kata-kata kasar yang keluar dari mulutku? Apa yang terjadi denganku?
Langkahku terhenti di pagar rumah, setelah kulihat ayah dan bunda tengah sibuk memasukkan beberapa koper ke dalam mobil. Oma dan kak Arry hanya memandangnya dari ambang pintu rumah. Apa yang mereka lakukan?
Aku mendekati mereka. Dan mereka sadar akan kehadiranku.
“Ayah, bunda. Mau kemana?” tanyaku.
Bunda hanya tersenyum, ayah juga tersenyum. Dan aku tak tahu maksud dari senyuman itu apa? Bunda mendekatiku, lalu mengajakku ke dalam rumah.
“Ayo bicarakan di dalam!” Begitulah ucapan bunda ketika kami memasuki rumah.
Ayah, kak Arry, dan Oma mengikuti kami berdua masuk ke dalam rumah. Kami pun berkumpul di ruang tamu.
“Ayah dapat tawaran kerja lagi di Makassar. Karena kebetulan bunda juga masih punya tugas disana, makanya bunda ikut ayah ke Makassar. Iza mau ikut bunda sama ayah ke Makassar atau tetep disini sama kak Arry dan oma?” ucap bunda diakhiri sebuah pertanyaan yang jujur saja membuatku bimbang.
Makassar? Kota itu sangat jauh dari Jakarta. Tapi mungkin bila aku ikut ayah dan bunda ke Makassar, aku bisa menjauh dari Afifah dan Dimas. Dan aku takkan lagi menyakiti Afifah dengan kata-kata kasarku. Lalu?
“Aku ikut ke Makassar deh bun,” ucapku akhirnya.
“Kamu serius Za? Lalu bagaimana dengan Afifah dan Dimas?” tanya kak Arry yang sepertinya menginginkanku agar tetap di Jakarta.
“Tenang saja kak, mereka pasti baik-baik saja,”
Justru mereka akan senang bila aku pergi jauh kak, lanjutku dalam hati.
“Ya sudah cepat bereskan pakaianmu. Bunda tunggu di luar,” pinta bunda.
Tanpa basa-basi aku segera berlari menuju kamar. Dan membereskan semua pakaianku. Setelah itu aku kembali menemui bunda, ayah, kak Arry dan oma.
“Kak, sampaikan salamku pada Afifah ya!” ucapku pada kak Arry ketika aku ingin memasuki mobil.
“Kalau dia tanya macam-macam tentangmu bagaimana?”
“Bilang saja, ini jalan yang terbaik buat persahabatan kita,”
Sekali lagi kurasakan pahit sekali ketika mengucapkan kata persahabatan. Entah, aku tak tahu itu mengapa.
“Mungkin dengan begini, ia takkan lagi tersakiti olehku,” lanjutku.
Kak Arry sedikit tersentak. Baru saja ia ingin berkata, aku segera memasuki mobil. Dan kak Arry pun membiarkanku memasuki mobil.
“Bu, titip Arry ya. Arry baik-baik kamu sama oma,” pesan ayah di balik kemudinya pada oma dan kak Arry.
“Siip deh yah,” kak Arry mengacungkan jempolnya.
“Kami pergi dulu ya. Assalamualaikum.” Ucap bunda.
“Waalaikumsalam,”
Dan perlahan, mobil yang kunaiki ini membawaku meninggalkan sebuah rumah kecil yang sederhana di bawah kaki bukit itu, meninggalkan oma dan kak Arry yang tengah berdiri melambaikan tangan di ambang pintu rumah. Dan inilah jalan yang memang harus kupilih. Dengan begitu, aku takkan lagi menyakiti perasaan Afifah dengan sikap egoisku serta ucapan-ucapan kasarku.
Selamat tinggal Afifah! Selamat tinggal Dimas! Selamat tinggal sahabat! Selamat tinggal Jakarta!

_ Pertemuan yang Tiada Guna, Menghilangkan Arti Persahabatan_ (Afifah P.O.V.)
Aku memandangi bangku di hadapanku. Tepat di hadapanku. Bangku itu kosong. Sudah lebih dari dua minggu bangku itu dibiarkan kosong, dan tak lagi ditempati oleh pemilik bangkunya seperti dahulu. Ya, bangku itu kosong beberapa hari setelah aku keluar dari rumah sakit sekitar dua minggu yang lalu. Pula pemilik bangku itu. Iza, sahabatku yang menghilang tak memberi kabar padaku ataupun Dimas. Dan jujur saja, aku merindukannya. Benar-benar merindukan seorang Iza.
“Ifah,”
Sebuah tangan bergerak ke atas ke bawah di hadapan wajahku. Aku tersadar dari lamunanku. Aku menengok ke sebelah. Ada Dimas disana, yang tengah memandangku.
“Kamu kenapa?” tanyanya kemudian.
Aku tak langsung menjawab. Aku menunduk, mencoba menenggelamkan wajahku. Karena aku mulai merasakan air-air hangat mendesak ingin keluar dari pelupuk mataku.
“Aku rindu Iza, Dim,” ucapku dengan nada gemetar.
Sesaat, hening kembali terjadi. Dan aku telah membiarkan airmataku mengalir membanjiri kedua belah pipiku. Lalu kurasakan sebuah tangan merangkulku erat. Aku memindahkan kepalaku untuk bersender di pundak Dimas. Dan aku benar-benar menangis disana. Meluapkan segala kerinduanku pada Iza di bahu Dimas. Karena hanya di bahu Dimas, aku bisa merasakan ketenangan yang cukup damai.
“Kalau begitu nanti kita ke rumah Iza ya,” ajak Dimas lagi.
Lagi? Ya, memang lagi. Sudah berulangkali Dimas mengajakku untuk ke rumah Iza. Namun aku selalu…
“Enggak Dim. Jangan ke rumahnya!” tolakku sambil mengangkat kepalaku dari bahu Dimas.
Ya, namun aku selalu menolaknya. Menolak tawaran Dimas untuk pergi ke rumah Iza.
“Kenapa harus selalu menolak sih Fah? Kau rindu bukan? Aku juga merindukannya Fah. Aku juga merindukan Iza. Rindu tingkah konyolnya, canda tawanya, permainannya di lapangan basket. Maka itu kita ke rumahnya, untuk melepas rasa rindu kita pada Iza,” ucap Dimas sedikit memaksa.
Rindu? Ya. Aku sangat merindukan Iza. Tingkah konyolnya, canda tawanya, permainannya di lapangan basket, dan entah kenapa. Tiba-tiba aku merindukan ucapannya ketika ia mengucapkan, “Karena aku cemburu melihatmu dengan Ifah,”. Ya, aku merindukan ucapannya itu. Ketika ia mengatakan bahwa ia cemburu dengan Dimas bila aku bersama dengannya. Karena semenjak mendengar ucapan itu, aku merasakan getaran hebat bila berjumpa dengan Iza. Karena pula, aku telah menyukainya, lebih dari seorang sahabat.
“Baiklah,” ucapku akhirnya. “Kita ke rumah Iza,” lanjutku.
Kulihat Dimas tersenyum lebar. Ia menggerakkan tangannya untuk mengacak-acak rambutku. Aku segera menepis tangan Dimas, dan lalu kami bercanda bersama disana.
---
“Iza?”
Aku dan Dimas mengangguk-angguk.
“Iya kak, Iza-nya ada kan?” ulang Dimas.
Sore itu, aku dan Dimas ke rumah Iza seperti apa yang kami janjikan saat di kelas pagi tadi. Tapi ketika kami tiba di rumah Iza, nampaknya rumah itu sepi. Semua pintu tertutup rapat. Awalnya, kami memang ragu untuk memasukinya. Tapi ketika melihat kak Arry keluar dari rumah tersebut, kami pun segera menghampirinya dan bertanya tentang Iza.
“Loh? Memang kalian belum tahu?” kata kak Arry.
Aku dan Dimas saling pandang. Belum tahu? Belum tahu apaan?
“Belum tahu apa kak?” sahutku cepat.
Kak Arry lalu memandangku. Dan cukup lama mataku bertemu dengan matanya. Hingga akhirnya ia mulai mengeluarkan suara.
“Iza ikut ayah dan bunda ke Makassar dua minggu yang lalu,”
JDER!! Bagai sebuah petir yang menghantam dadaku. Makassar? Dua minggu yang lalu? Jadi maksudnya? Iza pergi?
“Iza nggak pernah ngasih tahu hal ini ke kita kak,” ucap Dimas kemudian.
“Iya kak. Iza gak pernah mengabari kepergiannya ini pada aku dan Dimas,” Aku membenarkan perkataan Dimas.
Cukup lama kubiarkan kak Arry terdiam. Bukan diam, melainkan berpikir. Hingga akhirnya,
“Ya ampun, kakak lupa,” ucap kak Arry tiba-tiba sambil menepuk jidatnya.
Aku dan Dimas kembali saling pandang.
“Waktu itu Iza memang mendadak ingin ikut ke Makassar begitu melihat ayah dan bunda mengemasi barang bawaan mereka ke dalam mobil. Kalo gak salah sih waktu itu Iza habis pergi. Katanya sih habis dari rumah sakit,”
Aku kembali menatap kak Arry. Rumah sakit?
“Dua minggu yang lalu kak?” tanyaku memotong pembicaraan kak Arry. Karena pikiranku mulai melayang pada kejadian dua minggu lalu di rumah sakit, perjumpaan terakhirku dengan Iza.
“Iya, dua minggu yang lalu. Pada malam hari. Makanya Iza nggak sempet pamit sama kalian berdua. Tapi dia nitip salam kok buat kamu Fah,” ucap kak Arry.
Aku kembali memandang Dimas, yang juga sedang memandang ke arahku. Lalu aku kembali menatap kak Arry begitu ia ingin melanjutkan katanya,
“Kata Iza, mungkin itu jalan yang terbaik buat persahabatan kalian. Makanya dia ikut ke Makassar,” lanjut kak Arry.
Tapi sungguh, aku tak mengerti maksud ucapannya. Baru saja aku dan Dimas ingin bertanya, kak Arry segera melanjutkan,
“Karena dengan begitu, Afifah takkan lagi tersakiti olehnya,”
Aku tersentak mendengar kalimat terakhir dari kak Arry. Aku memandang Dimas lagi. Dan Dimas juga memandangku. Ia pun tak kalah kagetnya.
---
Lima tahun berlalu begitu cepat bagiku. Bersama Dimas, aku kembali memasuki sekolah yang sama di SMP Idola Bangsa. Dan kini kami telah menduduki kelas akhir di tingkat SMP, yaitu kelas 9. SMP kami letaknya tak begitu jauh dari SD Pertiwi, sekolahku dahulu. Dan aku selalu melewati sekolah tersebut bila datang dan pulang sekolah. Dan setiap aku melewatinya. Kenangan itu kembali terputar dalam benakku.
“Ifah,” seru Dimas mengagetkanku yang sedang asik melamun di bangku taman.
“Dimas, ih ngagetin aku terus sih kerjaannya,” ucapku langsung meninju lengan Dimas.
Dimas terkekeh geli, lalu duduk di sebelahku. Tangannya memegang secarik kertas, membuatku tertarik untuk membacanya.
“Hem, apa tuh Dim?” tanyaku menunjuk secarik kertas di tangannya.
“Undangan reuni SD. Emangnya kamu nggak dapet?” kata Dimas yang lalu menyodorkan kertas tersebut padaku.
“Reuni SD? Enggak tuh! Emangnya kapan?” tanyaku sambil membaca tulisan komputer pada kertas tersebut.
Mataku membelalak. Lalu memandang ke arah Dimas.
“Sore ini?!?” teriakku kaget.
“Iya, sore ini. Dateng yuk Fah, kangen nih sama anak-anak basket,” kata Dimas.
Aku tak langsung menjawab. Aku berpikir cukup lama. Dateng nggak yaa??
“Dateng ajalah Fah. Emangnya kamu nggak kangen sama anak-anak SD?” tanya Dimas mencoba membujukku.
Kangen? Udah pasti aku sangat kangen. Tapi, rasa kangen itu selalu membuatku sedih. Sedih akan masa lalu yang kehilangan seorang sahabat. Ya, Iza. Aku masih ingat dengannya. Dia sahabatku.
“Nanti sepulang sekolah, aku jemput kamu ya. Pokoknya kamu udah harus siap,” ucap Dimas yang lalu bangkit dari duduknya. Ia lalu melangkah meninggalkanku sendiri di bangku taman ini, membiarkan kenangan pahit itu kembali terputar dalam otakku.
---
Setelah paksaan yang cukup heboh dari Dimas sore ini, akhirnya aku menerima ajakannya untuk menghadiri acara reuni SD. Walau aku tak begitu ingin hadir dalam acara itu, tapi ya mau bagaimana lagi, Dimas benar-benar memaksaku untuk datang.
Aku memandangi sekitarku. Tak jauh beda dengan tiga tahun lalu saat aku masih duduk di bangku SD. Masih tetap sama, dan masih menimbulkan jejak kenangan disana.
Aku mengekor Dimas. Tapi aku segera memisahkan diri ketika Dimas bertemu dengan teman-teman basketnya. Mereka pasti akan bercerita tentang kegiatan ekskul basketnya di sekolah mereka yang baru, dan mereka pasti akan menghiraukanku. Maka lebih baik, aku memisahkan diri dari mereka.
Entah darimana kemauan itu, aku ingin sekali menuju taman bukit di belakang sekolah. Suasana sore ini sangat mendukung untukku kesana menikmati semilirnya angin sore yang begitu sejuk dan dingin.
Di setiap langkah perjalananku menuju taman bukit, aku hanya menggigit bibir. Karena di setiap penglihatanku, aku teringat dengan Iza. Teringat dengan kenanganku bersamanya.
Langkahku terhenti, aku tercekat. Ketika mataku menangkap sesosok lelaki tengah duduk di taman bukit sana. Dan lelaki itu adalah… Iza? Ya, aku tak salah lihat. Dia Iza, sahabatku. Dia telah kembali.
Aku melangkah mendekatinya, dan sepertinya ia sadar bahwa ada yang melangkah mendekatinya. Tapi sungguh, ia tak menampakkan ekspresi apa-apa. Ekspresinya tetap datar, dan tak berubah. Ia tetap duduk meringkuk di taman bukit sana, sambil memandang pemandangan sekitar.
Aku duduk di sebelahnya. Tapi Iza sama sekali tak menyambut kehadiranku. Memberi senyuman pun tidak. Apa mungkin ia masih membenciku?
“Hai Za. Apa kabar?” sapaku kemudian.
Iza menengokku sekilas, kemudian kembali memalingkan pandangannya.
“Baik. Kamu sendiri?”
Suara itu? Aku merindukannya. Ya, aku benar-benar merindukan suara itu. Lima tahun lamanya aku tak mendengar suara lembut itu. Dan kini? Suara itu telah kembali. Bersama dengan pemiliknya. Ya Tuhan, kumohon hentikan waktu untuk berdetik. Aku ingin tetap bersamanya disini.
“Baik juga,” ucapku lirih.
Kemudian keheningan menyelimuti kami. Cukup lama, dan cukup membuatku seidkit jenuh. Kulirik Iza sekilas. Iza? Sahabatku? Kenapa dia sekarang seperti ini? Kenapa dia berubah? Tak seperti Iza yang kukenali saat dahulu, yang suka bercanda dengan mengeluarkan tingkah-tingkah konyolnya. Kemana Iza sahabatku yang dulu? Aku merindukannya.
“Kamu… kapan pulang kesini?” tanyaku sedikit ragu untuk memecah keheningan di antara kami.
Iza tak langsung menjawab. Kulihat ia menunduk sejenak, lalu kembali memandang langit senja.
“Dua tahun yang lalu,”
Aku tersentak. Jawabannya tadi memang cukup membuatku kaget. Dua tahun yang lalu? Bukankah tahun itu adalah tahun pertama sekolah menengah pertama?
“Berarti kita masuk kelas satu SMP bukan? Kenapa gak ngasih tahu ke aku atau Dimas, Za? Kita kan bisa masuk SMP yang sama,” ucapku dengan nada sedikit gemetar. Karena rasanya aku ingin sekali menangis. Menangis karena perubahan sifat sahabatku ini.
Iza tak menjawab. Ia hanya memberikan sebuah cengiran gak jelas tanpa memandang ke arahku. Ah, Iza. Kemana sosok dirimu yang dulu? Kenapa engkau berubah?
“Memang SMP mu dimana Za?” tanyaku setelah cukup lama ia tak menjawab pertanyaan dariku tadi.
“SMP Nusa Bangsa,”
Kemudian aku diam, berharap Iza bertanya dimana sekolahku. Namun rasanya itu hanya menjadi harapanku saja. Iza sama sekali tak melempar pertanyaan padaku. Jangankan bertanya, melihat atau melirikku saja tidak.
Akhirnya hening kembali menyelimuti kami. Kali ini benar-benar lama. Aku tak berani melempar pertanyaan lagi pada Iza. Karena percuma. Ia hanya menjawab singkat, tanpa menanyakan apapun padaku. Padahal aku ingin sekali bertanya kenapa ia pergi ke Makassar tanpa memberitahukan padaku atau Dimas. Dan aku ingin bertanya apa maksud dari perkataan, ‘Afifah takkan tersakiti lagi olehnya’ dari kak Arry. Tapi sekali lagi kukatakan itu hanya harapanku saja. Sungguh, aku tak berani bertanya seperti itu padanya.
“Gimana hubunganmu dengan Dimas?” tanya Iza tiba-tiba.
Aku menengok, dan kini kulihat wajah Iza. Wajah yang tak jauh berbeda dengan lima tahun lalu. Tapi, kenapa sifatnya berbeda dengan lima tahun lalu?
“Dimas baik-baik aja. Dia sekarang mengikuti klub basket bersama pemain-pemain papan atas,” ucapku, dengan diselingin sebuah senyuman, merasa senang karena akhirnya Iza bertanya padaku.
Bibir Iza membulat, lalu kembali memandang langit senja. Dan kini aku benar-benar membiarkan keheningan kembali terjadi. Dengan semilir angin sore yang sukses membuat suasana menjadi damai. Dan aku? Merasa lebih damai dengan memandang wajah Iza dari samping, walau ia tak memandang ke arahku.
Entah, tiba-tiba aku berharap Iza mengatakan akan perasaannya padaku. Ya, aku ingin sekali Iza mengatakannya. Karena aku yakin maksud dari kata ‘cemburu’ lima tahun yang lalu karena ia menyukaiku. Aku pun selalu memergoki tingkahnya yang aneh setelah ucapan ‘cemburu’ itu. Jadi, aku rasa aku tak salah berharap ia akan mengatakan hal itu padaku. Namun lagi-lagi kukatakan, itu hanya harapanku saja. Iza terlalu jaim saat ini.
Suara langkah kaki yang mendekati kami membuatku menoleh sumber suara. Kulihat Iza juga menoleh ke belakang. Dan kulihat pula Dimas tengah melangkah mendekati kami. Kulirik Iza sekilas, ia segera memutar kembali kepalanya ke arah normal. Hhh… Iza, aku tahu perasaanmu. Aku tahu kamu selalu cemburu melihat Dimas bersamaku. Tapi kenapa kamu tak pernah mengungkapkan itu padaku, Za? Kau seharusnya tahu, aku juga menyukaimu. Lebih dari seorang sahabat.
“Sudah kutebak, kamu pasti disini Fah,”
Suara Dimas tadi mengagetkanku. Aku menoleh ke arahnya, dan memberikan sebuah cengiran.
Kulihat Iza melirik ke arahku dan Dimas. Dan kulihat pula Dimas melirik ke arah Iza.
“Loh? Hai Za, kamu datang?”
Dimas segera mendekati Iza, namun ia tetap berdiri. Iza menengadahkan kepalanya, lalu mengangguk kecil.
“Gak ada kabar kamu, Za? Kemana aja? Ke Makassar kok gak bilang-bilang. Ifah sedih tuh kehilangan kamu,”
Aku membelalak, tak menyangka Dimas akan berkata seperti itu. Dengan cepat aku memukul betis Dimas, sementara Dimas hanya terkekeh.
“Ih, apaan sih Dim. Iza kan sahabatku, ya jelas dong aku sedih kalo dia pergi,” ucapku dengan suara sedikit manja.
Hem, jujur saja. Mengucap kata ‘sahabat’ tadi terasa berat sekali untukku. Karena aku menginginkan lebih dari seorang sahabat dengan Iza.
“Eh, sedihmu itu bukan sedih kehilangan seorang sahabat. Tapi sedih kehilangan seorang kekasih tau,”
Aku tersentak, dan segera menengok ke Iza. Kulihat ia juga menampakkan ekspresi kaget. Dan, kami sama-sama terkaget. Karena apa? Karena kurasa pernyataan Dimas tadi benar. Sedihku memang bukan sedih kehilangan seorang sahabat, melainkan sedih kehilangan seorang kekasih. Tapi… Ah, Ifah kau sadar! Iza bukan kekasihmu, walau ia menyukaimu.
Setelah itu aku mendengar Dimas bercakap-cakap dengan Iza. Dan aku membiarkan itu. Membiarkan Dimas mengobrol dengan Iza, dan membiarkan hatiku gelisah akan perasaanku. Hingga akhirnya, aku merasakan rintik-rintik air mendarat di tanganku. Aku menengadahkan kepalaku. Langit senja yang berwarna merah keorange-orangean telah berganti dengan warna biru kelam pertanda mendung.
“Wah, gerimis nih!” komentar Dimas.
Aku menengok ke Dimas dan Iza. Dimas sudah bangkit dari duduknya setelah tadi mengobrol dengan Iza, walau tadi kudengar tanggapan Iza hanya singkat seperti percakapanku dengan Iza tadi.
“Ke kelas aja yuk!” ajak Dimas.
Aku dan Iza tak menjawab, kami hanya saling pandang. Namun seperti biasa, Iza segera memalingkan pandangannya dariku.
“Yuk Fah!” Dimas mengulurkan tangannya padaku.
Sekali lagi kulirik Iza. Dan, dan, Iza? Iza? Dia melirik uluran tangan Dimas dengan tatapan tidak suka. Ah, Iza. Kenapa kau tak bilang saja? Aku ingin kau jujur tentang perasaanmu.
Aku menyambut uluran tangan Dimas. Sembari membersihkan rok belakangku, aku mengajak Iza.
“Ayo Za, ke dalam!”
Iza tak langsung menjawab. Ia kembali memalingkan pandangannya, lalu bersuara.
“Duluan saja,”
“Udah mulai deres Za,” kata Dimas.
Iza menengok sekilas. Lalu ia memberikan sebuah senyuman. Ya, sebuah senyuman paksaan. Aku melihatnya. Sebuah senyuman yang tak tulus tersungging di bibirnya. Ah, senyuman palsu.
“Kalian duluan aja. Aku masih ingin disini,”
“Yaudah, duluan ya,” Dimas lalu meraih tanganku. Dan kembali aku melihat wajah Iza yang nampak menunjukkan ketidaksukaan. Ia kembali memalingkan pandangannya. Sementara aku, hanya tersenyum miris melihatnya.
Dimas menarik tanganku, dan aku pun mengekor Dimas begitu sadar hujan mulai turun dengan derasnya. Di tengah perjalanan kami menerjang derasnya hujan, aku melirik belakang. Memandang Iza yang masih duduk disana, yang membiarkan seluruh tubuhnya diguyur oleh derasnya hujan. Iza semakin menjauh dari pandanganku, yang kemudian lenyap ditelan perbukitan.
Dimas melepas tanganku setibanya di koridor kelas. Aku segera menyapu pakaianku yang basah oleh air hujan. Entah, tiba-tiba saja kenangan lima tahun lalu kembali terputar di benakku. Ketika aku, Dimas, dan Iza berlari menerjang derasnya hujan dari lapangan basket menuju kelas. Dan setibanya di kelas, aku segera menyapu seragamku yang basah oleh air hujan, sementara Dimas dan Iza mengeluh gak jelas akan pertandingan duel basket mereka yang terpaksa diberhentikan karena hujan. Ah, kenapa aku harus ingat kenangan itu? Aku menggeleng keras, mencoba membuang kenangan itu.
“Kantin aja yuk!” ajak Dimas kemudian.
Aku hanya mengangguk. Lalu kami melangkah menelusuri koridor untuk menuju kantin. Namun lagi-lagi? Ya, lagi-lagi kenangan itu terputar di benakku, ketika aku… ketika aku melewati… melewati… kelasku?
Langkahku terhenti mendadak. Dimas yang masih melangkah segera menoleh ke arahku. Ia membalikkan tubuhnya dan kembali mendekatiku.
“Kenapa Fah?” tanyanya.
Aku tak langsung menjawab. Aku memandangi wajah Dimas cukup lama. Hingga akhirnya aku bersuara,
“Kamu duluan aja, Dim. Aku ingin toilet,” ucapku beralasan.
Beralasan? Ya, karena aku tidak ingin ke toilet.
“Yaudah kutunggu di kantin ya,” Dimas kembali melangkahkan kakinya.
Setelah Dimas menghilang dari pandanganku, aku segera membalik tubuhku.
Beralasan? Ya, aku memang beralasan. Karena aku tak ingin ke toilet. Aku hanya ingin ke…
Langkahku terhenti di ambang pintu. Aku mengedarkan pandanganku ke setiap sudut kelas. Tak jauh beda dengan lima tahun lalu. Aku pun mulai melangkahkan kakiku memasuki kelas tersebut.
Ya, aku beralasan karena aku hanya ingin ke kelas. Kelas dimana disanalah tersimpan sejuta kenangan tentang persahabatanku dengan Dimas dan Iza.
Aku langsung mendekati tembok di sudut belakang kelas. Karena aku ingin melihat apakah ia masih disana. Dan, dan ternyata…
Aku terpaku di tempat ketika melihat dua buah ukiran terlukis di tembok sana. Ukiran itu? Ukiran itu?
Perlahan aku mendekatinya. Kuperhatikan baik-baik ukiran itu. Ukiran lima tahun lalu yang bersama Dimas dan Iza aku mengukirnya. Aku tersenyum miris melihatnya.
“Iza…”
Aku tak tahu ucapan itu keluar begitu saja dari mulutku.
Aku mengelus pelan kedua ukiran tersebut. Pikiranku kembali melayang pada lima tahun lalu ketika aku mengukir ukiran tersebut bersama Dimas dan Iza. Bukan! Bukan itu yang terputar di otakku, melainkan ketika aku mengukir ukiran tersebut berdua dengan Iza. Ya, hanya berdua dengan Iza.
“Iza, aku kangen kamu yang dulu…”
Airmataku pun mengalir setelah kutahan beberapa detik di pelupuk mata. Aku tak tahan, aku tak tahan dengan keadaan ini. Aku ingin seperti dulu. Aku ingin mendengar tawa nyaringnya Iza. Aku ingin melihat tingkah konyolnya Iza. Aku ingin melihat permainan basketnya Iza. Aku ingin mendengar celoteh bawelnya Iza. Aku ingin itu semua kembali. Dengan nyata, bukan hanya harapan. Aku rindu itu semua, dan aku ingin itu semua kembali.
Hening. Ya, karena hanya ada aku seorang diri di kelas ini. Tapi tidak! Aku tidak sendiri. Ditemani suara derasnya hujan di luar sana, yang membuatku makin teringat akan kejadian lima tahun lalu itu.
“Izaaa……”
Aku masih menangis sendu, sambil mengelus pelan sebuah ukiran yang bertuliskan namaku dan nama Iza. Ternyata, hanya cukup sampai disini persahabatanku dengannya.

- THE END -

SYARAT-SYARAT KIRIM CERPEN oleh Tim Story


Buat temans yag ingin memperluas jarigan menulisnya ke dunia remaja, silakan kirim cerpennya ke Majlah Story, Sttt....aku juga belum punya majalahnya:)


Whaaa.., nulis cerpen??
Jangan bilang susah, sebelum kamu mencoba.
Ada banyak bukti, bahwa menulis cerpen itu gampaaang, banget! Asal kamu suka baca, suka mengkhayal dan suka coret-coret diary, pasti bisa deh! (plus baca panduan menulis dari Story yang ada di tiap edisi!)

Mau coba?
Kirim coret-coretanmu ke Story!

Ketik naskahmu spasi rangkap, dengan ketentuan:
Cerpen
Panjang naskah 13.000 – 14.000 characters with spaces, atau sekitar 8-10 halaman.

Cerbung
Panjang naskah 26.000 - 40.000 characters with spaces, atau sekitar 20-30 halaman