Untuknya Dariku

Dibanjiri kenangan pada indah matamu, Pada pecah senyummu, Pada belaian pucat resahmu, Langitpun membiru kosong, Dihangati uap api kerinduan ini, akupun ingin menyambangimu, Membawa sepi yang pernah kau tinggalkan, Bagaimana ku lukiskan maaf, Bila kanvas hati enggan kau buka, Bagaimana aku mendekati rindu, Bila sedetik kutemui kau berubah arah, Diingatkan petang,akupun beranjak pergi, Membawa lagi sepi ini pulang.

Jumat, 01 Oktober 2010

"Jangan Bersedih, Lintar..." (chapter six)

Di chapter five, Nova memberi tantangan pada Lintar untuk tidak berhubungan dengannya selama sehari. Kira-kira Lintar bisa menjawab tantangan tersebut gak yaa?? And, apa maksud Nova dari semua ini?? Cekidot aja deh...

= = = = = = = =

"Jangan Bersedih, Lintar..." (Chap. 6)


Oh Tuhan…
Aku tak ingin seperti ini…
Walau aku tau semua ini akan terjadi…
* * *
“Nova,”
Gabriel langsung menghampiri adiknya yang terbaring tak berdaya di lantai kamarnya. Wajahnya pucat. Bibirnya memerah penuh darah. Gabriel mengangkat Nova. Dingin.
“Mamaaaa……. Mamaaa…” teriak Gabriel.
Lintar menghempaskan tubuhnya
ke aspal, sementara Ray masih berdiri sambil bertolak punggung. Nafasnya masih berantakan. Ia menunggu Lintar meneguk botol minumnya.
“Capek juga main sama lu, Ray” Lintar mengelap peluhnya dengan lengan bajunya.
Ray menghabiskan air di botolnya, lalu duduk di sebelah Lintar.
“Hahaaa… Biasa aja kalii…” ucap Ray yang kemudian juga mengelap peluhnya.
“Acha kemana?” Tanya Lintar kemudian. “Kok gak jalan sama dia?” lanjutnya.
“Biasalah, ini kan Minggu. Waktunya les piano,” ucap Ray. “Lu sendiri?” Ray balik nanya.
Lintar menengok ke Ray. Ray ikut menengok.
“Gak sama Nova?”
Lintar tertawa kecil sambil berpaling.
“Gua lagi dapet tantangan dari dia,” ucap Lintar.
“Hah? Tantangan? Apaan?” Ray langsung memutar tubuhnya menghadap Lintar, tertarik untuk mendengar lanjutan ceritanya.
“Seharian ini gua gak boleh ketemu sama Nova. Gak boleh ada komunikasi apapun. Mau telepon, mau sms an, pokoknya gak boleh. Kalo gua berhasil jawab tantangan itu, dia bakal jadiin gua cinta pertama dan terakhirnya. Kesannya sih lebay, ya tapii, apa sih yang enggak buat cewek gua, hahaa…” ucap Lintar.
Ray ikut tertawa.
“Konyol lu,” Ray menabok punggung Lintar.
Lintar Cuma senyum kecil. Lalu Ray merangkul pundak Lintar.
“Kalo gitu, seharian ini kita berduaan aja” bisik Ray kemudian, nadanya terdengar seperti seorang cewek yang sedang merayu seorang cowok.
Lintar mendorong kepala Ray agak menjauh darinya, “Sorry, gua masih normal, sob”
“Widdihhh… abang jahat nih sama eke. Ayo bang, berduaan ajaa…” Ray mendekati Lintar lagi dengan gaya banci yang melekat di jiwanya (haduhhh… amit amit, jangan sampe deh aslinya kayak gini. Ckckck,, jahat amat ya gua).
“Najjisss lu Ray” Lintar langsung menghindar.
“Hahahaaa……..” Ray langsung tertawa kencing, lalu merangkul pundak Lintar.
Lintar ikut tertawa.
* * *
Deg,
Sakit…
Ya Tuhan, tolong aku…
* * *
Lintar memandang langit. Tak secerah malam kemarin. Tak ada bintang ataupun bulan yang menghiasi langit malam itu. Cuaca pun terasa tak bersemangat. Lintar menutup jendela kamarnya, setelah mendengar suara petir menyambar di dekatnya. Ia kemudian melangkahkan kakinya ke atas ranjang. Sebelum itu ia meraih sebuah pigura di atas laci kecil dekat ranjang.
Lintar memandang wajah gadis pada pigura tersebut. Ia rindu padanya.
“Aku berhasil Nova. Tunggu aku esok hari,” Lintar membelai pelan pigura tersebut.
Lintar kemudian berbaring sambil memeluk pigura tersebut. Ia memejamkan matanya.
Aku rindu padamu, Nova…
Lintar berlari menuruni anak tangga. Najwa dan Nada yang sedang membereskan ruang makan langsung menoleh ke sumber suara ‘gedebuk gedebuk’ (suara kaki Lintar maksudnya). Najla datang membawa sebuah mangkok besar. Maminya mengikuti di belakang membawa sebuah bakul nasi. Mereka berdua ikut memperhatikan tingkah Lintar yang nampak tergesa gesa.
Lintar mengambil gelas yang berisi teh, entah milik siapa. Lalu meneguknya. Setelah itu ia mengambil selembar roti, lalu menyambar tangan maminya, dan mencium punggung tangannya. Ia mengambil kunci motornya, lalu keluar rumah. Tak lupa mengacak rambut Nada, adik bungsunya.
Setelah sadar dari kebengongan mereka, maminya mendekati pintu rumah. Najla, Najwa, dan Nada mengikutinya di belakang.
“Lintaaar… Mau kemanaaa??” teriak maminya.
“Ke rumah Nova sebentar, miii…” Lintar ikut teriak, kemudian menjalankan motornya.
Maminya menggelengkan kepalanya, “dasar anak jaman sekarang,” batinnya dalam hati.
DEG, tiba tiba perasaan gak enak muncul di benak Lintar setibanya di rumah Nova. Lintar turun dari motornya, sambil membuka helm, pula melihat rumah Nova yang begitu ramai. Sebuah tenda didirikan didepan rumah Nova. Banyak orang disana. Apa yang terjadii…
Lintar melangkahkan kakinya mendekati rumah Nova. Tiba tiba, DEG.
Perasaan apa lagi ini. Makin mendekat ke rumah Nova, Lintar makin merasa gak enak dengan perasaannya. Apalagi setelah mendengar suara isak tangis dari dalam rumah Nova. Ada apa inii…
Lintar berdiri di ambang pintu. Ia mematung, melihat seorang gadis yang tubuhnya tertutup oleh selimut. Wajahnya pucat. Lubang hidungnya ditutupi oleh kapas. Dan itu adalah…
Nova.
Tak mungkiin…
Lintar segera berlari menghampiri gadis itu.
“Novaaaa……” teriaknya.
Air hangat berkali kali jatuh dari pelupuk matanya, membasahi kain yang menutupi tubuh Nova.
Lintar memeluk Nova. Sangat erat… seakan ia tak ingin melepasnya. Apa yang sebenarnya terjadi...
Sampai pada penguburan, Lintar masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa? Kenapa tiba tiba Nova tiada? Apa yang sebenarnya terjadiii…
Lintar meremas tanah makam Nova. Airmatanya masih mengalir deras. Ray dan Acha menenangkannya di sebelah.
“Biarkan Nova pergi dengan tenang, Ntar” ucap Acha mengelus rambur Lintar.
“Tapiii… kenapa? Kenapa Nova pergi?? Di saat gua… Di saat gua berhasil menjawab tantangannya…” teriak Lintar sesenggukan.
Acha melirik Ray. Ray juga nampak terpukul. Tak ada yang menyangka Nova akan pergi secepat ini.
“Lintar…”
Sebuah suara membuat Acha dan Ray menengok ke belakang. Namun orang yang dipanggil malah tak menengok sama sekali.
Ray dan Acha bangkit dari jongkoknya, mempersilakan Gabriel untuk berbicara dengan Lintar.
“Ntar,” Gabriel memegang pundak Lintar.
Sekilas Lintar mendongak, namun kembali menatap makam Nova. Lintar benar benar kehilangan.
“Ada yang mau gua omongin sama lu,” ucap Gabriel. Lintar masih menghiraukan. “Tentang Nova.” Lanjutnya.
Lintar berhenti sesenggukan. Ia mendongak lagi. Lalu perlahan ia bangkit dari jongkoknya.
“Nova gak mau lu nangis, Ntar. Dia mau, lu merelakan kepergiannya. Karena dia tau, lu telah mencobanya.”
Mencobanya…? Ya… mencobanya dengan sebuah tantangan yang kemarin lusa Nova berikan padanya. Aih, apakah ada maksud dari tantangan tersebut…
“Nova terkena TBC,” ucap Gabriel.
Ketiganya tersentak kaget. Terlebih Lintar. Ray dan Acha saling pandang, mereka pun tak percaya dengan ucapan kakak Nova tadi.
“Udah lama ia terserang penyakit itu. Tapi Nova mencoba agar ia tak terlihat seperti orang sakit. Gua liat, emang sih, sama sekali tak terlihat seperti orang sakit. Tapi… kalo udah pusing sedikit, langsung terlihat sakitnya…”
Lintar kembali mengingat saat dirinya bersama Nova, saat Nova pingsan di hari ulangtahunnya. Apakah itu…
“… Dokter telah memvonis Nova, bahwa hidupnya tak lama lagi. Nova hanya tinggal menghitung hari. Namun ia belum menyerah untuk hidup. Karena ia masih ingin hidup. Masih ingin bersama dengan orang orang yang ia sayangi…”
Gabriel menengok Lintar sekilas, lalu melanjutkan…
“… Dia pun bilang, ia masih ingin hidup bersama orang yang paling berharga dalam hidupnya…”
Lintar menatap Gabriel, yang kini juga tengah menatapnya.
“… Dia tak ingin ngecewain lu, Ntar. Ia ingin selamanya berada di samping lu. Makanya, ia relakan menghabiskan waktunya untuk bersama lu. Walaupun ia tak sanggup menahan perih pada dadanya. Ingat, saat lu membawa Nova pulang begitu larut?”
Lintar mengangguk kecil, pikirannya ikut melayang ke arah sana. Aih, andai ia tahu itu semua. Ia pasti tak mungkin mengajak Nova pulang larut malam.
“… Pulangnya ia langsung pingsan karena terlalu capek. Karena… kalian tahu? Pada hari itulah dokter memvonis hidup Nova akan berakhir. Dan ternyataa…” Gabriel tak melanjutkan katanya. Ia menutup wajahnya, sepertinya airmatanya pun telah mengalir.
“Tapi kenapa kak?”
Gabriel menengok ke Acha. Ray dan Lintar pun demikian.
“Tapi kenapa Nova melakukan itu semua? Kenapa Nova membohongi kami? Kenapa Nova tak pernah memberitahu kami? Kenapa Nova berbuat seperti itu kak? Apa ia tak tahu resiko apa yang akan ia ambil bila melakukan itu semua…” Tanya Acha seperti membentak. Ia juga tak bisa menahan tangisnya.
Ray mendekati Acha, mencoba menenangkan kekasihnya itu.
“Karena Nova mencintai kalian. Dan Nova ingin menikmati hidupnya seperti orang biasa, orang yang sehat. Bukan orang yang diperhatikan sahabat sahabatnya karena ia memiliki penyakit mematikan. Nova tak ingin sakit, maka itu ia berusaha agar terlihat seperti orang sehat. Orang yang tak memiliki penyakit mematikan,”
Lintar memejamkan matanya. Bodohkah ia selama ini… Pacarnya sakit pun ia tak tahu. Ah, cowok macam apa aku ini…
“Waktu lu ulangtahun Ntar-”
Lintar membuka matanya, menatap kembali Gabriel. Ray dan Acha pun demikian.
“Sebenarnya mama dan gua melarang Nova untuk hadir. Karena tiba tiba Nova muntah darah. Mama udah menyuruh Nova untuk istirahat aja. Tapi Nova gak mau. Ia tetap ingin hadir di acara ulangtahun lu. Karena ia tahu, pada hari itulah ia terakhir merayakan ulangtahun lu bersama lu. Ia tahu, tahun depan tak mungkin bisa memberi selamat ulangtahun lagi ke lu,”
Lintar kini mengacak ngacak rambutnya. Andai ia tau itu semuaa… ya tuhan… mengapa aku begitu bodoh…
“Dan masalah tantangan yang Nova berikan kepada lu-”
Lintar menatap Gabriel lagi.
“Ini jawabannya. Nova menitipkan ini pada gua, untuk dikasih ke lu” Gabriel lalu menyerahkan secarik kertas pada Lintar.
Lintar menerimanya. Sekilas ia melihat Gabriel, Lintar, dan Acha yang juga tengah menatapnya, kemudian ia membaca tulisan Nova…
‘Kamu berhasil sayang. Bisakah kamu lakukan itu setiap hari?’
Lintar meremas kertas tersebut. Ia merasa kesal. Ya, kesal pada dirinya sendiri. Betapa bodohnya… bodoh… Sangat bodoh…
“Nova mau untuk hari berikutnya, lu anggep lu masih menerima tantangan dari Nova. Seperti apa yang lu lakukan saat kemarin,” ucap Gabriel.
Lintar tak bisa lagi menahan tangisnya.
“Novaaaaaa…………” teriak Lintar yang lalu berlutut kembali di hadapan makam Nova.
Ray dan Acha saling pandang, kemudian mendekati Lintar. Lalu memeluknya.

- BERSAMBUNG -
= = = = = = = = = = =

Then... Epilog sebentar lagi. Tetap koment :D
By: Zulfa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar